Nama : M.Agus Hariyono
Prodi/smester : Manajemen / 2 (Dua)
Nim : 12010653
Email : m.agushariyono@gmail.com
“LUMPUHNYA BANK
INDONESIA”
BELAKANGAN ini - seperti dulu satu tahun
sesudah Pakto 1988 - marak kembali debat-kusir yang amburadul di kalangan para
pimpinan bank serta pengamat ekonomi mengenai terlalu tingginya tingkat suku
bunga dewasa ini. Kesemuanya itu merupakan pendapat awami saja yang tidak perlu
dipusingkan. Namun, bila sudah sampai otoritas moneter kita bisa keliru membicarakan
persoalan tersebut kita diperhadapkan dengan tanda-tanda zaman gawat darurat.
Berkata Dr Soedradjat Djiwandono,
Gubernur Bank Indonesia (BI) pada ceramahnya sewaktu acara wisuda Unita Atma
Jaya, 4 Desember 1996 lalu, (1) suku bunga pinjaman bank memang terlalu tinggi
... namun ketatnya persaingan antarbank merupakan salah satu faktor yang
membuat suku bunga tersebut sulit turun dari sekitar 14-17 persen sekarang ini;
(2) ketika bank-bank swasta diam-diam menaikkan suku bunga, kenapa (sekarang)
mesti diperintahkan untuk menurunkannya?; (3) penentuan persisnya suku bunga
itu sangat sulit dilakukan ... partisipasi para nasabah diharapkan dalam
penurunan suku bunga, tetapi mereka cenderung memilih bank yang mematok suku
bunga tinggi; dan (4) alotnya penurunan suku bunga simpanan dan pinjaman,
sebagiannya memang karena beban kredit macet, tapi faktornya bukan itu saja.
Kebijaksanaan moneter
Kebijaksanaan moneter
Tidak satu pun dari konsep maupun
argumentasi sebab-akibat dalam kutipan di atas yang bisa berterima. Tapi,
terlepas dari masalah tersebut yang pokok adalah bahwa Gubernur BI melemparkan
kesalahan pada pihak yang tidak bersalah. Perbankan sama sekali tidak bersalah
atas tingginya suku bunga dewasa ini. Yang salah hanyalah BI yang tidak
memahami lagi fungsi fundamentalnya dalam perkara tersebut. BI sebagai bank
sentral di negara mana pun - merupakan satu-satunya lembaga yang
menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas ebijaksanaan moneter. BI atau bank sentral
bertanggung jawab penuh atas penentuan tingkat suku bunga (i) yang pada dirinya
berkaitan erat dengan fungsi utama BI untuk menentukan volume peredaran uang
(M).
Kebijaksanaan moneter bank sentral
sedemikian besar hingga merupakan faktor penentu dari kestabilan perekonomian
keseluruhan. Aliran moneter yang dikenal sebagai Mazhab-Monetaris menganggap
peran uang sedemikian unik dan strategis, hingga kebijaksanaan moneter diberi
kedudukan dominan, sedang kebijaksanaan fiskal dinomor duakan saja.
Kebijaksanaan moneter menentukan tingkat suku bunga dapat ditamsilkan dengan kebijaksanaan
Kebijaksanaan moneter menentukan tingkat suku bunga dapat ditamsilkan dengan kebijaksanaan
BULOG menentukan tingkat harga beras.
Dalam kaitan ini BULOG tersendiri menentukan patokan harga beras berdasarkan
pertimbangan-makro perihal kepentingan petani dan pembangunan sektor pertanian
serta biaya hidup perkotaan, unsur-unsur pertimbangan mana
tidak termasuk dalam benak pedagang-pedagang pencari laba.
tidak termasuk dalam benak pedagang-pedagang pencari laba.
Demikianlah tamsilan tadi berkata, bahwa
BI juga mutlak harus menentukan patokan suku bunga makro untuk mencegah gejolak
dan distorsinya oleh persaingan bank.
Bagaimana tingkat suku bunga terbentuk?
Bagaimana tingkat suku bunga terbentuk?
Kebijaksanaan moneter selalu ditujukan
dan dipusatkan untuk mengatur dan mengawasi jumlah M yang sesuai dengan
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Bila M terlalu banyak, maka inflasi akan
mengancam, sedang bila terlalu sedikit resesi akan timbul. Namun penentuan M
tadi tidak segampang kedengarannya.
Teori moneter akan berkata bahwa M
ditentukan BI berdasarkan rumus M = mH, di mana m = multiplier dan H = high
powered money atau uang primer.
Bila M ditambah BI - karena kenaikan
gaji, ekspor dan lain-lain - maka pertambahan tersebut harus cocok dan seimbang
dengan pertambahan permintaan masyarakat atas keperluan likuiditas (L).
Pertambahan likuiditas tersebut diperlukan untuk tambahan transaksi, uang
jaga-jaga dan untuk spekulasi. Naiknya likuiditas tersebut pada gilirannya mendorong tingkat suku bunga (i) untuk turun yang selanjutnya mendorong naiknya Investasi (I) dan Savings (S) yang kemudian menimbulkan kenaikan Pendapatan Nasional (Y).
jaga-jaga dan untuk spekulasi. Naiknya likuiditas tersebut pada gilirannya mendorong tingkat suku bunga (i) untuk turun yang selanjutnya mendorong naiknya Investasi (I) dan Savings (S) yang kemudian menimbulkan kenaikan Pendapatan Nasional (Y).
Bila tercipta keseimbangan M dan L,
hingga M = L, maka itu menandakan apa yang dikenal sebagai keseimbangan sektor
moneter atau keseimbangan pasar finansial. Keseimbangan bersangkutan mengandung
arti, bahwa suplai uang, tidak lebih dan tidak kurang, tapi sesuai jumlahnya
dengan yang diperlukan masyarakat sebagai likuiditas.
Demikian juga bila I seimbang dengan S,
yakni I = S, maka timbullah apa yang dikenal sebagai keseimbangan sektor riil
atau keseimbangan sektor barang-barang.
Keseimbangan perekonomian atau
keseimbangan Y tercipta, bilamana sektor moneter seimbang dengan sektor riil.
Keseimbangan kedua sektor tersebut terjadi dengan dan pada SATU tingkat suku
bunga tertentu.Bila suku bunga lebih tinggi atau lebih rendah dari (i) yang
satu tadi, maka itu pertanda dari masih adanya gangguan dalam bentuk
gejolak dan distorsi investasi, savings, supply uang dan permintaan likuiditas.
Dalam uraian contoh di atas terlihat
bahwa pertambahan M dilakukan otonom oleh BI, sedang perubahan (i) berlangsung
endogen: didorong oleh kekuatan ekonomi sendiri.
Bila BI memilih dan menentukan secara
otonom tingkat suku bunga (i), maka I cenderung didorong menurun, yang
pada gilirannya menurunkan Pendapatan Nasional (Y) yang cenderung mendorong permintaan
likuiditas masyarakat untuk berkurang dan akan disertai oleh menurunnya -
secara endogen - suplai M oleh BI.
Baik secara eksogen (otonom) maupun
endogen, perubahan M atau (i) berlangsung dalam model-moneter yang secara
ringkas dijelaskan tadi dan atas dasar itulah penentuan M dan (i) berada
sepenuhnya dalam tangan BI sebagai pelaksana kebijakan moneter. Seperti telah
dicontohkan tadi, terlihat bahwa BI bisa mengambil inisiatif secara otonom -
dan menjadi kekuatan eksogen - menentukan (i) dan membiarkan M berkembang
semaunya secara endogen atau sebaliknya BI bisa langsung menambah M secara
otonom dan membiarkan (i) bergerak semaunya secara endogen. Ini berarti
tersedianya pilihan 2 target-moneter dalam BI menegakkan keseimbangan ekonomi,
yaitu (1) menentukan volume M, atau (2) menentukan tingkat (i), tapi tidak
boleh menentukan kedua-duanya sekaligus dan simultan. Dengan kata lain: Jika BI
memilih (i) sebagai target, maka M dibiarkan berkembang semaunya menurut M =
mH, sedang bila direncanakan M sebagai target, maka (i) dibiarkan berkembang
endogen.
Lumpuhnya kebijaksanaan moneter BI
Lumpuhnya kebijaksanaan moneter BI
Kecuali Bank Indonesia, seluruh bank
sentral di dunia mencantumkan dalam Undang-undang Pokoknya rumusan-rumusan
penentuan suku bunga dan peredaran uang dengan menggunakan berbagai instrumen
moneter: (1) Open Market Operation (Operasi Pasar Terbuka, OPT), (2) Discount
Rate Policy, (3) Cadangan-Wajib bank-bank di BI. Di samping ketiga instrumen
pokok tadi terdapat sebagai alat pembantu: (4) Moral Suaison, (5) Credit Controls,
(6) Interest Rate Ceilings dan lain-lain.
Namun tidak satu pun dari
instrumen-instrumen tadi pernah dijalankan BI secara efektif. Kerap kali
Gubernur BI menyebut-nyebut bahwa BI menjalankan tight-money-policy, tapi tidak
pernah dijelaskan bentuk instrumen apa saja yang dipakai BI dan apa hasilnya
secara konkret.Pun disebut bahwa BI melakukan moral suaison yang seyogyanya
kita artikan sebagai pendekatan informal dan non-legal terhadap bank-bank, agar
supaya mengerem laju pertambahan kredit perbankan bagi keperluan sektor ekonomi
tertentu. Andaikata benar dijalankan demikian, mengapa timbul kredit macet dan
mengapa kredit terlalu banyak disalurkan dewasa ini ke bidang properti?
Sudah terlalu sering pula dikemukakan
Gubernur BI, bahwa BI menyelenggarakan OPT, seolah-olah pernah mengikuti jejak
bank sentral di negara lain (India, Malaysia dan lain-lain) yang sudah biasa
melakukan jual beli surat-surat berharga (Treasury bills, bonds dan lain-lain)
bilamana inflasi atau resesi mengancam tiba-tiba. Transaksinya berlangsung
selalu di luar jatuh waktunya surat-surat berharga tadi. Gubernur BI menganggap
salah, bahwa penjualan rutin SBI dan SBPU termasuk OPT. Padahal BI tidak pernah
membeli SBI dan SBPU sebelum jatuh waktu. Lagi pula, volume surat-surat tersebut
masih terlalu kecil dan saling-ofset pula alam dampaknya atas M, sehingga tidak
berarti sebagai usaha mencegah inflasi. Pun Discount Policy BI berlangsung
rutin saja tanpa pernah mengubah suku bunganya sebagai rencana memerangi
inflasi atau resessi.
Blunder BI yang dengan Pakto 1988
menurunkan Cadangan-Wajib bank dari 15 persen menjadi 2 persen dan memberi
kesempatan luas bagi perbankan mengobral kredit hingga terjadi inflasi,
rupa-rupanya ingin dipulihkan oleh BI. Pada tahun 1996 Gubernur BI menaikkan
Cadangan-Wajib tadi menjadi 3 persen dan kemudian 5 persen, di mana yang
terakhir ini diberlakukan baru pada April 1997. Apa sebabnya begitu rendah dan
ditunda setengah tahun tidak bisa diterima akal sehat. Menaikkan Cadangan-Wajib
pada prinsipnya bertujuan mengekang peredaran uang yang pada gilirannya akan
menaikkan tingkat suku-bunga, hal mana tentunya berlawanan dengan pendapat
Gubernur BI sendiri yang menganggap suku bunga sekarang sudah terlalu tinggi.
Apa yang selama ini dikatakannya bahwa
Gubernur BI selalu mengambil sikap kehati-hatian (prudent banking policy) dan
pula menganut "multi-pronged approach" (sistem instrumen terpadu)
kenyataannya hanya non-action saja, karena ketakutan (scary approach)
kalau-kalau
mengambil tindakan salah. Alhasil, Gubernur BI melumpuhkan total kebijaksanaan moneter BI, karena tinggal pasif saja mengikuti perkembangan teknis bank-bank dan menjalankan usaha BI yang lepas dari hubungan moneter intrinsiknya dengan perbankan.
mengambil tindakan salah. Alhasil, Gubernur BI melumpuhkan total kebijaksanaan moneter BI, karena tinggal pasif saja mengikuti perkembangan teknis bank-bank dan menjalankan usaha BI yang lepas dari hubungan moneter intrinsiknya dengan perbankan.
Tidak disadari BI lagi tragedi yang
timbul akibat suku bunga tinggi selama ini, yang membuat dana-dalam-negeri
kalah bersaing dengan dana-luar-negeri yang tingkat suku bunganya setengah saja
dari yang berlaku di Indonesia. Sudah dengan sendirinya para konglomerat
menggunakan pinjaman dana luar negeri mensubstitusi dana dalam negeri.Konsekuensi
lanjutannya adalah tragedi tadi yang membuat Indonesia pengutang terbesar kedua
di dunia dan secara artificial sanggup menutupi defisit neraca berjalan
Indonesia.
Jalan keluar
Jalan keluar
Satu-satunya jalan keluar dari
kemelut-moneter Indonesia dewasa ini hanyalah apabila BI menjalankan
kebijaksanaan moneternya sebagai bank sentral yang memegang kendali moneter,
perbankan dan devisa. Dalam kerangka model moneter yang diuraikan di atas, BI harus
melakukan tindakan minimal berikut:
1) Supaya
laju inflasi jangan melebihi 5-6 persen,sehingga suku bunga riil cukup menarik.
2)
Kurs Rupiah di-"peg" pada yang
sedang berlaku demi rencana mencegah inflasi.
3)
Suku bunga pinjaman bank ditetapkan
sebanyak 12 persen yang sekaligus ditujukan untuk membendung pinjaman modal
dari luar negeri.
4)
BI harus bersedia memberi pinjaman
selektif dengan Discount rate yang lunak.
5) Tergantung
dari keadaan, Cadangan-Wajib dinaikkan mencapai tingkat-operasional.
Ada baiknya bila BI melakukan konsultasi
dengan International Monetary Fund agar mereka merumuskan bagi BI model moneter
dan tindakan yang lebih rinci dan konkret. Sebagai penutup dikemukakan pula
supaya Undang-undang Pokok BI yang sangat-sangat ketinggalan zaman itu direvisi
total dan menjadi pegangan ampuh bagi Gubernur BI.
0 komentar:
Posting Komentar